16Kelas IX SMP. 1. Mendalami Makna Hidup Beriman Melalui Pengalaman Hidup Sehari-hari. x Bacalah dan renungkan cerita berikut ini. x Setelah kalian membaca dan merenungkan cerita yang berjudul "Makna Beriman" tersebut, buatlah daftar pertanyaan untuk lebih memahami makna hidup beriman melalui pengalaman hidup sehari-hari. x Bahas dan ArtikelPengalaman Iman . Ruang Kesaksian/Pengalaman iman : Siapakah Diantara Kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Surat dari Jepang; Kekuatan penyembuhan Ekaristi; Menjamah Yesus dalam Ekaristi ; Yesus benar-benar bekerja saat Misa; Burung Berkicau; Yesus tidak pernah meninggalkanku Lewatrefleksi iman ini, saya mau memberikan pemahan kepada kita semua, karena jangan pernah melupakan Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah untuk melupakan kita sedetikpun. Tetap selalu bersyukur, untuk di setiap peristiwa yang kita jalani, karena Tuhan sangat mencintai kita. Tetap semangat teman-teman, Tuhan Memberkati. KitabSuci Yunani berisi juga kitab-kitab terbaru yang aslinya brbahsa Yunani. B aru setelah terjadi pergolakan pertama melawan Roma (66-71) pada tahun 95, orang-orang Yahudi membuat daftar resmi atau yang disebut "Kanon" Kitab Suci. Mereka menolak buku-buku yang ditulis dalam bahasa Yunani. Namun Gereja pada pihaknya, tanpa membuat suatu KisahSanto John Henry Newman: Perjalanan iman seorang Anglikan menjadi Katolik. John Henry Newman lahir dari keluarga kelas menengah di Inggris pada tanggal 21 Februari 1801. Ayahnya seorang bankir dan ibunya dari kalangan terhormat kelompok Protestan Prancis. Sejak kecil, Newman sangatlah cerdas. Ia masuk ke Universitas Oxford di usia 15 tahun. 0ssUK. – Nama saya Natalia Ais Walinono, biasa dipanggil Natalia atau Talia. Ayah saya asal dari Pulau Timor NTT dan ibu dari Mojokerto, Jawa Timur. Saya lahir di Mojokerto pada 29 Desember 2003. Saya dua bersaudara, semuanya perempuan. Kakak saya saat ini kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Sekolahnya Bung Karno Sebelumnya saya menjalani pendidikan di SMPN 2 Kota Mojokerto. Banyak kenangan yang tak bisa dilupakan. Ada beragam kesan indah yang tak mudah ditanggalkan selama tiga tahun belajar di sekolah yang berada di Jalan Ahmad Yani Mojokerto itu. SMP Negeri 2 Mojokerto adalah sekolah yang memiliki nilai sejarah. Sekolah yang dibangun oleh Belanda ini merupakan tempat belajar Presiden Soekarno. Ketika itu, Bung Karno pernah tinggal selama 9 tahun di Kota Mojokerto. SMPN 2 kala itu merupakan sekolah Eropa di Mojokerto. Sekolah ini memang dikhususkan untuk menampung siswa Belanda. Kalaupun ada warga pribumi, itu hanya diperuntukkan bagi keturunan priyayi. Natalia bersama teman-teman sekelasnya di SMAN 2 Kota Mojokerto/Foto istimewa Sekolah dengan Sistem SKS Setelah lulus SMP saya meneruskan pendidikan di SMAN 2 Kota Mojokerto. Ada empat alasan aku memutuskan memilih sekolah ini. Pertama, di Kota Mojokerto, sekolah ini dikenal lebih unggul dari pada sekolah lainnya. Kedua, sekolah ini merupakan adiwiyata mandiri yang pasti akan memberi kesan baru, karena dari mulai TK hingga SMP saya tidak pernah sekolah di sekolah adiwiyata. Ketiga, sekolahnya bersih dan luas. Keempat, sekolah ini menggunakan sistem SKS yang berbeda dari sistem pendidikan di SMA lain di Mojokerto. Awalnya saya ragu memilih SMA ini karena menurut pendapat teman-teman, sistem SKS itu sangat berat. Bukan hanya dituntut untuk bisa menguasai materi tapi kita juga harus belajar semua materi secara mandiri. Kendati berat saya justru bersemangat ingin bersekolah di SMAN 2 agar di perguruan tinggi nanti saya lebih siap dan matang jika dibandingkan dari siswa lainnya. Setelah menjalani serangkaian ujian di tingkat SMP, akhirnya saya memperoleh nilai yang memuaskan dan sesuai dengan harapan. Bermodal nilai itu, saya bisa lolos dan diterima di SMA 2. Natalia/Foto istimewa Kesan pertama, saya merasa sangat senang karena sesuai dengan ekspektasi sebelumnya. Hal yang berbeda yang dijumpai di sekolah ini adalah areanya sangat luas dan memiliki banyak pepohonan. Pohon yang ada di sekeliling sekolah memiliki sejumlah manfaat, misalnya membuat udara jadi lebih segar, penyaring udara di bumi, mengurangi paparan sinar ultraviolet pada kulit, mengurangi dampak perubahan iklim, mencegah polusi air, menambah cadangan air tanah, mencegah banjir dan masih banyak lagi. Di sekolah ini saya memiliki teman baru yang baik dan mudah diajak berdiskusi. Saya juga berjumpa dengan bapak, ibu guru yang ramah. Pengalaman kebaikan itulah yang mampu meringankan beban SKS yang semula terasa sangat berat. Kini menjadi enteng karena saya bisa menyelesaikan tuntutan akademis sesuai target. Kata orang saat SMA adalah masa-masa yang paling indah. Kita akan menjalani hal baru dengan teman-teman yang beranjak dewasa. Kita juga memulai menentukan masa depan kita. Akan jadi apa kita ke depan? Saya berharap di SMA 2 ini saya bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik demi masa depan saya. Selama dua tahun berada di SMA Negeri 2, banyak suka duka yang kualami. Memang, lebih banyak kisah menyenangkan dibandingkan dengan cerita-cerita pilu. Beberapa pengalaman yang membuat hatiku senang adalah pertama kali mengikuti Olimpiade Geografi. Ini merupakan impian sejak SMP. Pengalaman kedua, menjadi supporter saat mendukung tim basket sekolah berlaga di DBL arena di Surabaya. DBL Arena merupakan stadion bola basket yang bisa menampung penonton. Pengalaman menarik lainnya ketika dipercaya menjadi petugas upacara. Ketika menjadi petugas upacara, saya bisa lebih disiplin, berpakaian lebih rapi, mampu menjaga kekompakan dengan teman, menumbuhkan semangat kebangsaan. Doa Bersama Lover’s Ada satu kegiatan wajib dan rutin setiap pagi kami lakukan sebelum memulai kegiatan belajar di kelas, yaitu Dzikir Bersama Lovers DBL. Saya sebagai penganut Agama Katolik lebih dikenal dengan Doa Bersama Lover’s. Bagi teman-teman yang beragama Islam kegiatan DBL dilaksakan di lapangan upacara, sementara bagi yang Kristen Katolik dan Kristen Protestan maupun agama lain, kegiatan doa bersama di lapangan basket. Aktivitas pagi bersama ini diawali dengan rumusan doa pagi. Setelah itu doa ketika memulai pelajaran, dan doa pilihan seperti mendoakan orang tua, doa untuk orang sakit, doa untuk guru, dan lain-lain. Setelah doa dilanjutkan dengan mendengarkan bacaan Injil sesuai kalender liturgi serta renungan singkat oleh Pembina atau sharing Kitab Suci di antara peserta didik. Kegiatan tersebut merupakan aktivitas baru bagi saya. Ada beberapa pengalaman berharga yang saya jadikan cambuk untuk kebaikan di masa depan, seperti kalah dalam lomba dan dimarahi guru karena melakukan kesalahan. Sisi positif dari pengalaman dimarahi adalah saya mendapat kesempatan untuk melatih mental agar kuat menghadapi kehidupan. Bagi saya mental yang kuat adalah kunci untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Ekstra Kurikuler Saya juga terlibat dalam kegiatan organisasi siswa di SMA 2 yaitu ekstrakurikuler I-choir, Hypnopreneur, dan menjadi tim olimpiade Geografi. Saya memilih ekstrakulikuler I-choir karena dorongan untuk mengasah kemampuan bernyanyi. Kebetulan saya suka bernyanyi. Melalui kegiatan ekstrakurikuler tersebut saya bisa mengenal banyak teman dari kelas dan tingkatan yang berbeda. Di ekstrakurikuler Hypnopreneur, saya dibimbing untuk berbisnis bahkan ada tuntutan lebih dari ekstrakurikuler tersebut bahwa siswa sebisa mungkin mampu berbisnis walaupun masih bersekolah. Cita-cita sederhana saya mengikuti ekstra Hypnopreneur adalah menjadi seorang pengusaha. Sebagai perempuan saya ingin bisa menghasilkan uang tanpa harus membagi waktu saya dengan keluarga. Saya juga memperoleh banyak hal baru dari tim olimpiade Geografi SMANDA. Setiap hari bisa belajar geografi bersama bu Eni dan teman-teman. Ketika belajar Geografi saya bisa mengetahui lokasi-lokasi di permukaan bumi, bisa membaca kehidupan di masa depan, meningkatkan kepedulian terhadap bumi dan isinya serta menyadarkan saya akan kebesaran kuasa Allah. Ini merupakan potensiku yang harus dimaksimalkan. Enam bulan duduk di bangku kelas XI saya merasakan ada hal yang berbeda. Di kelas XI saya harus bisa menemukan jati diri sementara di kelas X lebih banyak waktu untuk proses penyesuaian. Di kelas XI saya dituntut menyiapkan diri lebih serius agar lebih mudah langkah saya selanjutnya ke tingkat yang lebih tinggi, di kelas XII. Ekspresi Iman Sebagai siswa Kristen Katolik yang sedang menempuh pendidikan di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto, sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan iman atau kepercayaan saya. Kebaikan sering saya peroleh dari teman yang berbeda keyakinan. Bahkan mereka toleransinya sangat tinggi. Walau banyak perbedaan, saya tetap memiliki rasa percaya diri misalnya membuat tanda Salib saat berdoa. Salah satu media yang bisa meningkatkan dan memperdalam serta meningkatkan iman saya adalah doa pagi bersama di lapangan basket setiap pagi. Jika ada yang tidak bersikap toleran, jumlahnya tidak banyak. Walau demikian, saya tetap berpikir positif dan kebaikan selalu berada dalam diri teman-teman saya.*** Mojokerto, 25 Oktober 2020 Natalia Ais Walinono, Siswi SMA Negeri 2, Mojokerto adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia. B. A. Lewis Sumber Ketika orang-orang bertanya kepada saya mengenai keputusan saya bergabung dengan Gereja Katolik, saya suka membagi pertanyaan itu menjadi dua bagian. Pertanyaan, “Kenapa Anda jadi Katolik? Dan pertanyaan lainnya, “Bagaimana Anda jadi Katolik?” Pertanyaan pertama bisa dijawab dengan satu kalimat saja Saya masuk Gereja Katolik karena saya yakin baik dalam pikiran dan hati saya bahwa Gereja Katolik itu seperti yang dinyatakan olehnya satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Tuhan kita Yesus Kristus untuk melakukan misi-Nya di dunia ini dan juga yang dibimbing oleh Roh Kudus untuk mewartakan dan mengajar kepenuhan Injil. Jawaban tentang pertanyaan “bagaimana” adalah sebuah cerita, dan hampir persis dengan tiga tahapan perubahan keyakinan yang ditulis oleh G. K. Chesterton “Pengalaman saya bahwa orang yang berpindah keyakinan biasanya melewati tiga tahapan atau keadaan pikiran. … Fase pertama adalah fase dari filsuf muda yang merasa bahwa seseorang harus berlaku adil terhadap Gereja Roma. Ia hendak melakukannya dengan adil, tapi karena melihat bahwa dia [Gereja Roma] menderita ketidakadilan. … Tahap kedua adalah di mana seseorang yang akan berpindah keyakinan mulai menyadari bukan hanya ada kepalsuan tapi juga ada kebenaran, dan ia sangat bersemangat untuk menemukan bahwa ada jauh lebih banyak yang bisa ia peroleh daripada yang ia perkirakan. … Dan tahap ketiga mungkin yang paling benar sekaligus paling mengerikan. Yaitu di mana seseorang berusaha tidak mau berubah keyakinan” The Catholic Church and Conversion, Ignatius Press, 2006, hlm. 72-77. Jika saya diperkenankan untuk meringkas masing-masing tahap itu dalam satu kata keadilan, penemuan, dan pelarian. Mulai Berlaku Adil terhadap Gereja Katolik Saya ingin mengatakan bahwa tahap pertama dimulai ketika saya membaca buku C. S. Lewis di kelas 9. Tapi sebenarnya jauh sebelum itu. Saya dibesarkan di denominasi United Methodist di Georgia, putra dari dua bersaudara “anak-anak pendeta” United Methodist. Kenyataannya, tiga dari empat kakek nenek saya adalah pelayan yang ditahbiskan di Gereja United Methodist. Jadi saya sudah dibaptis sewaktu kecil dan aktif di sekolah Minggu, menjadi anggota koor anak-anak, dan akhirnya ikut kelompok orang muda gereja. Di musim panas sebelum saya mulai masuk di sekolah menengah, saya mengikuti acara “Chrysalis Flight,” suatu acara retret pemuridan intensif selama tiga hari untuk remaja. Setelah retret itu saya berkeinginan untuk bertumbuh dalam iman, dan mengambil buku C. S. Lewis yang berjudul Mere Christianity Kekristenan Asali. Dengan membaca buku itu, hidup saya berubah. Rasanya seperti membuka pintu ke dunia yang sama sekali baru. Itulah buku pertama yang saya baca yang membuat saya berpikir serius tentang iman Kristen, yang membuat saya berpikir bukan hanya sesuatu yang baik dan benar, melainkan sebagai satu-satunya penjelasan di antara semua filsafat dan agama di dunia yang benar-benar bisa menjelaskan segala sesuatu. Buku itu pula yang mengantarkan saya ke apologetika, filsafat, dan argument rasional. Saya terpikat. Saya menyukai kedalaman sederhana dalam gaya pembawaan Lewis, kemampuannya untuk mengambil pemikiran yang kompleks dan menjelaskannya dalam bahasa sehari-hari. Saya mulai membaca setiap buku C. S. Lewis yang saya peroleh The Screwtape Letters, The Problem of Pain, kumpulan esai dan khotbahnya. Tidak diragukan lagi Lewis menjadi penulis favorit saya. Melalui tulisan Lewis, untuk pertama kali saya menemukan doktrin api penyucian. Seperti yang ditulis Lewis dalam Letters to Malcolm Jiwa kita memohonkan Api Penyucian, kan? Apakah kita tidak patah hati jika Allah berkata kepada kita, “Memang benar, anakku, bahwa bau napas dan pakaianmu meneteskan lumpur dan lender, tapi kami di sini berbelas kasih dan tidak ada orang yang akan mencelamu dengan semua hal ini. Mau masuk ke dalam sukacita?” Seharusnya kita tidak pantas menjawab, “Dengan rendah hati, tuan, dan jika tidak keberatan, perkenankan saya membersihkan diri terlebih dahulu.” “Engkau tahu, mungkin itu menyakitkan” – “Meskipun begitu, tuan.” Lewis, Letters to Malcolm, Harcourt Brace Jovanovich, 1964, hlm. 108f. Sebagai seorang Methodist, saya mempertimbangkan gagasan pembersihan sesudah kematian sebagai kesimpulan logis dari John Wesley tentang kesempurnaan Kristen. Jika Allah hendak menguduskan saya dengan kasih karunia-Nya, jika Ia akan bekerja dalam diri saya untuk membuat saya sempurna seperti Ia yang sempurna adanya, lalu apa yang terjadi jika saya mati sebelum proses itu selesai? Akankah Allah meninggalkan pekerjaan baik yang Ia mulai itu tidak selesai? Ataukah Ia hendak “menyelesaikannya” Filipi 16? Setahun setelah saya mulai membaca buku Lewis, suatu hari ayah saya datang ke kamar saya dan berkata, “Kamu tahu, Benjamin, kalau kamu sangat suka C. S. Lewis, ada penulis lain yang menurutku harus kamu baca.” Lalu ia bercerita tentang G. K. Chesterton. “Ada buku yang mirip dengan Mere Christianity, dan saya kira kita punya bukunya di lantai bawah. Saya akan carikan buat kamu.” Beberapa saat kemudian, ia kembali dan membawa buku berjudul Orthodoxy. Saya mulai membacanya dan hampir langsung menemukan pertentangan. Saya adalah penggemar setia Lewis. Ia bukan hanya penulis favorit saya, ia juga adalah cinta pertama saya dalam kesusastraan. Tapi Chesterton kelihatan sama pintar dan berwawasan luas seperti Lewis. Saya tidak suka mengakuinya, tapi mungkin saya lebih menyukai Chesterton daripada Lewis. Ketika saya selesai membaca Orthodoxy, saya sudah menyelesaikan pertentangan itu meskipun saya tetap menghargai C. S. Lewis, tapi saya punya penulis favorit baru. Kemudian saya mulai membaca setiap buku Chesterton yang bisa saya dapatkan. Semakin banyak saya membacanya, saya semakin menentang fakta bahwa Chesterton bergabung dengan Gereja Katolik sebagai orang dewasa. Dalam banyak buku sesudah perubahan keyakinannya, ia menulis banyak hal untuk membela Katolikisme yang tampaknya masuk akal bagi saya, tapi saya belum tahu banyak tentang Gereja Katolik untuk mengetahui apa yang saya pikirkan tentang semua itu. Semakin saya banyak membaca, semakin saya akui kalau saya tidak tahu banyak tentang Gereja Katolik, tapi saya ingin mempelajarinya. Di SMA, saya juga mulai membaca beberapa tulisan para Bapa Gereja dan teolog abad pertengahan. Kepala orang muda di gereja Methodist saya memulai kelompok membaca teologi bagi anak-anak SMP dan SMA. Ia menyebutnya “Dead Theologians Society Kelompok Para Teolog yang Sudah Mati.” Kita bertemu seminggu sekali untuk membaca dan mendiskusikan tulisan-tulisan seperti Pengakuan-pengakuan karya St. Agustinus, Tentang Inkarnasi karya St. Athanasius, dan beberapa bagian tulisan St. Thomas Aquinas. Kelompok itu seharusnya melanjutkan bacaannya dengan tulisan Matrin Luther, John Calvin, John Wesley, dan para teolog yang lebih baru, tapi kami tidak pernah sejauh itu karena tingkat kehadiran kelompok itu berkurang dan proyek itu ditinggalkan. Sendirian, saya membaca karya St. Anselmus. Akibatnya, karena sebagian besar awal mula bacaan teologis sudah jelas Katolik. Tidak ada yang menyuruh saya untuk berhati-hati dengan apa yang ditulis para penulis ini. Tidak ada yang memperingatkan saya kalau umat Methodist itu tidak percaya dengan apa yang dipercaya oleh Agustinus dan Aquinas. Saya hanya membaca para pemikir hebat ini, dan menemukan bahwa apa yang mereka katakan itu sangat masuk akal. Jadi, sewaktu membaca Chesterton, saya juga memperoleh pengenalan teologi Katolik yang kuat. Di SMA, pertama kali saya bertemu dengan ajaran Katolik yang disalahartikan. Saya akan memberikan dua contoh. Yang pertama terjadi waktu Sekolah Minggu, saya ikut dalam “Belajar Alkitab Pemuridan” yang mencakup sebagian besar Perjanjian Lama dan Baru dalam 34 pekan bacaan harian yang punya pertemuan mingguan untuk membahasnya. Ketika kami membaca Matius 1613-20, perikop terkenal “engkau adalah Petrus,” saya cukup tahu tentang Katolikisme yang mengacu bahwa inilah dasar dari pemikiran otoritas kepausan. Jadi saya bertanya kepada pimpinan yang sedang mengajar di kelas itu, “Mengapa kita bukan Katolik?” Kelihatan ia sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ada seorang siswa yang membuat komentar sinis tentang perilaku mengerikan para paus di zaman Renaisans. Waktu itu saya belum cukup mengerti untuk menjelaskan posisi Katolik,tapi secara naluriah saya tahu keberdosaan beberapa paus dalam sejarah itu tidak relevan dengan pertanyaan mengenai otoritas pengajaran. Infalabilitas [tidak dapat salah dalam menentukan ajaran iman dan moral] tidak sama dengan impeccabilitas [tidak bisa berdosa sama sekali.] Salah satu contoh lain mengenai penilaian yang tidak adil terhadap Katolikisme yaitu waktu saya datang ke acara festival musik Kristen dengan kelompok orang muda. Ada seorang pembicara di festival musik itu berpendapat bahwa umat Katolik bukan orang Kristen sejati, kemudian ia mengutip banyak hal, salah satunya adalah kepercayaan “takhayul” tentang komuni. Saya ingat betapa terkejutnya saya dengan ucapannya, dan saya merasa terdorong untuk membaca salah satu bukunya yang ada di tempat merchandise setelah ia selesai berbicara. Saya menemukan bahwa dalam bukunya itu banyak argument-argumen yang menentang Katolik, seperti ceramahnya itu, yang semuanya itu kelihatannya salah mengartikan posisi Katolik. Sekali lagi, waktu itu saya tidak cukup tahu menjelaskan bantahan Katolik tentang yang dikatakannya itu, tapi saya tahu kalau pendapatnya itu didasarkan pada pemahaman keliru tentang ajaran Katolik. Pengalaman-pengalaman ini, dan pengalaman lainnya memberi saya suatu perasaan yang tumbuh bahwa Gereja Katolik sering disalahpahami oleh para penentangnya. Saya belum siap menerima pernyataan Gereja Katolik, tapi saya mulai memiliki keraguan yang serius mengenai argument yang menentang pernyataan tersebut. Menemukan Gereja Katolik Waktu saya menjadi mahasiswa baru di Asbury College, sebuah perguruan tinggi seni liberal Kristen non-denominasi di Kentucky, pertanyaan di benak saya, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Pertanyaan ini belum begitu mendesak, tapi memberikan banyak pikiran, doa, dan pembelajaran. Ada tiga hal yang secara khusus membantu saya dalam menjawab pertanyaan itu di perguruan tinggi. Pertolongan besar pertama datang dalam bentuk buku. Saya sudah membaca Alkitab, Agustinus, Anselmus, C. S. Lewis, G. K. Chesterton. Tapi sekarang, berada di perguruan tinggi saya punya akses untuk membaca lebih banyak buku lagi. Selain buku pelajaran dan sumber bacaan di perpustakaan kampus, saya diberkati dengan menemukan beberapa karya apologetika Katolik di toko buku bekas di daerah itu. Tapi satu-satunya sumber cetak terhebat saya peroleh dari obral buku perpustakaan kampus waktu semester pertama. Waktu itu tahun 2003, kampus memesan New Catholic Encyclopedia edisi kedua untuk buku referensi kampus. Ini artinya mareka akan menjual New Catholic Encyclopedia edisi pertama terbitan tahun 1967, semuanya ada sembilan belas jilid dengan harga $50. Sebagai seorang mahasiswa baru, saya tidak punya uang yang cukup untuk membelinya, tapi saya tahu kalau ini penawaran yang bagus. Jadi setelah memikirkannya, saya memberanikan diri untuk membeli buku itu. Empat tahun berikutnya, buku-buku itu berada di belakang meja di kamar asrama kampus saya. Setiap kali saya punya pertanyaan tentang ajaran-ajaran maupun tata cara Katolik, saya akan membuka salah satu buku dari rak itu dan mulai membacanya. Perbincangan dengan teman-teman kuliah saya menjadi bantuan besar yang kedua yang saya terima dalam bentuk menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Salah satu keuntungan belajar di perguruan tinggi Kristen non-denominasi adalah hampir semua orang menganggap iman Kristen sebagai sesuatu yang serius, tapi tidak semua orang sepakat dalam pertanyaan-pertanyaan teologi. Banyak teman-teman saya beberapa versi aliran Methodist United Methodist, Methodist Bebas, atau Methodist Evangelikal/Injili, tapi seorang teman paling dekat saya adalah seorang Presbiterian Evangelis/Injili, yang dibesarkan dalam tradisi Reformed atau John Calvin. Jadi kami sering mendiskusikan dan memperdebatkan perbedaan teologis Wesley dan Calvin. Satu perbincangan di kafetaria sudah cukup sebagai contoh umum. Seseorang yang bertanya tentang sifat-sifat Allah yang mana yang paling penting. Orang-orang aliran Wesley beralasan kalau kekudusan sebagai atribut ilahi yang mendasar, seorang teman Calvinis yang jelas-jelas kalah jumlah mempunyai alasan kuat bahwa kedaulatan sebagai sifat yang lebih mendasar daripada kekudusan. Saya masih ingat dengan peristiwa itu, saya berpikir bahwa perdebatan itu cukup seimbang, dan mungkin ada sesuatu yang lebih mendasar daripada kekudusan atau kedaulatan. Maka saya mencari “atribut ilahi” dalam New Catholic Encyclopedia, dan menemukan sesuatu yang lebih mendasar aseitas “dari diri-Nya sendiri”. Seperti yang dikatakan dalam Katekismus “Allah adalah kepenuhan keberadaan dan kesempurnaan, tanpa awal dan akhir. Sementara segala makhluk ciptaan menerima segala-galanya, keberadaan dan milik mereka dari Dia, hanya Ia sendiri merupakan Keberadaan-Nya dan memilikinya dari diri-Nya sendiri” Katekismus Gereja Katolik, 213. Jadi inilah yang membedakan Allah dari makhluk ciptaan-Nya, bukanlah kekudusan atau kedaulatan-Nya itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa kekudusan dan kedaulatan Allah dan semua atribut-Nya yang lain berasal dari diri-Nya sendiri, sedangkan kekudusan atau kedaulatan apa pun yang mungkin diperoleh manusia bukan berasal dari diri kita sendiri melainkan dari Allah. Perbedaan ini bukan hanya membantu saya melihat jawaban Katolik yang lebih dalam terhadap perdebatan Protestan mengenai sifat ilahi, tapi juga membantu saya untuk menyembah Allah dan menghormati orang-orang kudus. Allah sanggup membuat seseorang menjadi kudus dengan sempurna, dan orang itu tetap bukan Allah, karena perbedaan antara Allah dan makhluk ciptaan-Nya yang bukan satu derajat melainkan jenisnya kekudusan Allah dalah milik-Nya, dari diri-Nya sendiri; kekudusan yang kita peroleh adalah murni karena anugerah, karunia yang dianugerahkan dengan cuma-cuma dari Allah. Ketika kita menyembah Allah, kita menyembah-Nya karena siapa Ia yang ada dalam diri-Nya sendiri. Ketika kita menghormati orang-orang kudus, kita memuji atas apa yang Allah lakukan di dalam dan melalui mereka. Selama perbedaan itu dipertahankan, semakin kita memuji orang-orang kudus, maka kita semakin memuliakan Allah. Argumen mengenai atribut ini adalah salah satu dari banyak obrolan. Dari api penyucian hingga orang-orang kudus hingga memahami kehendak Allah, ada banyak pertanyaan yang didiskusikan dan diperdebatkan oleh saya dengan teman-teman saya. Berdebat dengan berbagai orang dari tradisi teologis yang berbeda membantu saya untuk lebih memahami tradisi saya sendiri, dan mendorong saya untuk melihat jawaban apa yang ditawarkan oleh Gereja Katolik. Profesor menjadi bantuan besar ketiga yang saya terima dalam menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Beberapa profesor yang ada di perguruan tinggi saya mempunyai apa yang saya sebut sebagai sikap kasihan terhadap Katolik. Mereka akan berkata, meskipun tidak dalam banyak perkataan, bahwa mereka secara keseluruhan setuju dengan Reformasi Protestan, atau tradisi Katolik yang satu ini. Masalahnya adalah beda profesor punya sikap kasihan yang berbeda. Maka, satu per satu, saya mulai menyusun potongan-potongan itu. Setiap kali bahasan mengenai Gereja Katolik muncul dalam perkuliahan, saya memikirkan dan mengaitkannya dengan pertanyaan menjadi Katolik. Di kelas bahasa Prancis, saya dihadapkan dengan budaya Katolik yang kuat, dengan perayaan hari-hari peringatan orang-orang kudus. Dalam kursus tentang filsafat kuno dan abad pertengahan, saya lebih banyak lagi membaca karya-karya Agustinus, Anselmus, dan Aquinas. Melalui ansambel musik, saya diperkenalkan dengan nyanyian Gregorian, polifoni Renaisans, dan berbagai lagu untuk Misa. Salah satu profesor bahasa Inggris saya adalah seorang sarjana Chesterton, saya dan beliau pernah melakukan obrolan bermanfaat di kantornya. Mungkin sikap kasihan terhadap Katolik yang paling berpengaruh berasal dari kelas sejarah mengenai Peradaban Barat. Profesor itu berusaha menyajikan gambaran yang adil dan seimbang mengenai Kekristenan Katolik menjelang Reformasi Protestan. Ia menyajikan perihal inti dengan mengatakan bahwa tidak semuanya hal itu buruk. Memang ada tindakan korupsi dalam hierarki, tapi Katolikisme abad pertengahan dan Renaisans juga menjadi saksi pertumbuhan dan pembaruan dinamis melalui ordo-ordo keagamaan baru seperti Dominikan dan Fransiskan, kerja keras dan doa komunitas monastik tradisional, pendirian universitas, dan perlindungan terhadap karya seni. Profesor itu menyajikan gambaran yang kompleks dan bernuansa Katolik pra-Reformasi. Kemudian ia meminta kami untuk membaca cerita pilihan dari Decameron karya Boccaccio. Satu kisah secara khusus membahas masalah korupsi dalam hierarki Gereja, dan mengubah argumen khas Protestan yang ada dalam pikirannya. Dalam kisah itu, ada seorang Yahudi dari Paris bernama Abraham yang membuat teman Katoliknya terkejut karena memutuskan untuk pindah agama, bahkan setelah mengunjungi Roma dan menyaksikan secara langsung tindakan korupsi dalam hierarki Gereja. Dari apa yang ia lihat, ia menjelaskan bahwa paus dan para kardinal di Roma seolah-olah sedang melakukan yang terbaik untuk menghancurkan agama Kristen. Namun, karena hal ini tidak terjadi, malahan Kekristenan tumbuh dan berkembang, ia menjadi yakin bahwa agama Kristen sudah benar-benar dibimbing dan dilindungi Roh Kudus. Dalam kisah ini dan juga dari gambaran kompleks Katolik pra-Reformasi yang disajikan oleh profesor sejarah saya, saya mulai melihat bahwa dosa-dosa para pemimpinnya justru membuat klaim Gereja Katolik semakin sulit ditolak. Jika Gereja Katolik hanyalah sebuah institusi manusia, bagaimana dia bisa bertahan – dan berkembang – dengan para pemimpin manusia yang lemah dan tidak sempurna? Semua gagasan dan pengalaman inilah yang mendorong saya untuk bertindak. Saya sudah membaca berbagai buku, melakukan perdebatan, dan menghadapi sikap kasihan terhadap Katolik dalam diri profesor saya. Sekarang saya perlu sesuatu mengenai hal itu. Sejauh ini semuanya masih dalam ranah pemikiran. Saya membutuhkan pengalaman praktis. Jadi pada tanggal 9 Januari 2005, pada Pesta Pembaptisan Tuhan, saya melakukan kunjungan perdana ke gereja Katolik untuk ikut Misa hari Minggu. Saya mencari paroki yang paling dekat dengan kampus saya dan menemukan jalan menuju St. Luke Catholic Church di Nicholasville, Kentucky. Saya terkejut dengan betapa wajarnya Misa itu. Saya tidak yakin dengan apa yang saya harapkan, tapi bukti iman dari umat begitu jelas menghilangkan pemikiran saya bahwa Katolikisme itu hanyalah “tradisi mati” atau sekelompok orang “yang melakukan macam-macam gerakan.” Kelihatannya Misa tidak begitu berbeda dengan kebaktian persekutuan Methodist di tempat saya dibesarkan. Anehnya Misa terasa akrab. Meskipun waktu itu saya tidak berkata demikian, dengan melihat kembali ke belakang saya mengatakan bahwa peristiwa itu seperti pulang ke rumah untuk pertama kalinya. Pada waktu ini dalam perjalanan hidup saya, saya sudah melampaui sikap adil terhadap Gereja Katolik. Sekarang saya semakin menyukainya, menemukan bahwa Gereja Katolik itu benar, bukan hanya sesekali, tetapi dengan konstan. Bahkan, melalui Gereja Katolik membuktikan sumber kebijaksanaan dan kebenaran yang bisa diandalkan. Saya sedang dalam perjalanan menjawab pertanyaan, “Haruskah saya menjadi Katolik?” Pernyataannya sekarang menjadi sesuatu yang mendesak, dan jawaban saya sudah dekat. Mencoba Melarikan Diri dari Gereja Katolik Pada musim gugur pertama sewaktu saya kuliah, saya mulai menghadiri kelas RCIA di St. Luke Catholic Church dan mulai ikut Misa setiap hari Minggu di bulan Oktober itu. Saya juga memutuskan untuk bergabung dengan paduan suara paroki. Kedengarannya tidak seperti orang yang berusaha melarikan diri dari Katolikisme, tapi itulah upaya untuk membenamkan diri dalam kehidupan Gereja Katolik untuk melihat apakah pengalaman pribadi akan menegaskan pembelajaran pribadi saya. Saya sedang menguji semua bacaan dan argumentasi saya. Apakah Gereja Katolik benar-benar seperti yang dikatakan Chesterton? Apakah pengalaman saya di sebuah paroki Katolik yang nyata sesuai dengan yang saya baca dalam karya Agustinus, Anselmus, Aquinas, dan berbagai buku apologetika Katolik? Apakah dengan melihat Gereja Katolik dari dalam itu seperti yang terlihat dari luar? Di satu sisi, saya menginginkan gambaran saya tentang Katolikisme bisa terbukti salah. Akan lebih mudah dengan menjaga jarak dengan Gereja Katolik, hanya dengan mengagumi dan menghormatinya dengan tetap menjadi orang Methodist. Saya benar-benar tidak menunggu percakapan yang akan saya lakukan dengan keluarga dan teman jika saya menjadi Katolik. Tapi dengan saya terpapar dengan rutin dengan ibadat dan persekutuan Katolik di tempat saya itu tidak mengubah atau bertentangan dengan tahun-tahun pembelajaran dan doa. Dalam upaya saya untuk menemukan jalan keluar dengan cara bergabung dengan Gereja Katolik, saya mulai bertanya kepada beberapa mentor rohani yang bisa dipercaya, “Mengapa saya tidak menjadi Katolik?” Saya mengharapkan alasan mereka itu cukup buat saya. Tapi nyatanya tidak. Saya menemukan alasan-alasan mereka itu mengagumkan, tapi tidak berlaku buat saya. Bahkan saya mengalami ada seorang profesor yang dengan hangat memberi saya selamat atas keputusan saya yang akan datang, dan saya mengakui bahwa ia sering berharap punya kesempatan belajar lebih banyak tentang Gereja Katolik. Langkah Terakhir yang Tak Terduga Seperti yang dikatakan Chesterton, “Catatan tentang tahapan perubahan keyakinan ini tentu sangat negatif dan tidak memadai. Ada detik terakhir atau batas setipis rambut, sebelum besi melompat menuju magnet, jurang yang penuh dengan segala kekuatan alam semesta yang tidak terduga. Jarak antara melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu itu seperti sesuatu sangat kecil dan sangat luas” The Catholic Church and Conversion, Ignatius Press, 2006, hlm. 83. Cerita saya sejauh ini agak sepintas dan terlalu dini. Hal ini disengaja, bahkan pada malam pengukuhan saya sebagai Katolik, saya tidak bisa mengartikulasikan sepenuhnya gagasan, kesan, dan pengalaman yang masuk dalam keputusan saya untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Itulah sesuatu yang sangat pribadi, saya berulang kali gagal dalam usaha menjelaskannya kepada keluarga dan teman. Ada seribu alasan kecil yang semuanya mengarah pada keyakinan bahwa Gereja Katolik itu benar, ajarannya benar, dan untuk semua bagian manusiawinya itu benar-benar dibimbing dan diarahkan oleh Roh Kudus. Ada juga seluruh proses pertubuhan kesadaran ini dibimbing oleh kuasa ilahi menuju kesimpulan ini. Saya sudah dibesarkan oleh kedua orang tua saya, dan didorong oleh pengajaran bawaan sebagai seorang Methodist, untuk mencari tangan Tuhan yang bekerja dalam hidup saya, dan untuk mengikuti-Nya dengan percaya dan penuh keyakinan. Sekarang saya mampu melihat cukup banyak bentuk kehidupan saya di masa lalu untuk mengetahui keputusan apa yang harus saya perbuat pada masa ini, bahkan jika saya tidak bisa memprediksi hasil yang terjadi di masa depan. Pada Malam Paskah 2006, sebagai seorang junior di perguruan tinggi, saya diteguhkan dan diterima dalam Gereja Katolik. Pertumbuhan dalam Gereja Katolik di Kemudian Hari Beberapa keluarga dan teman saya takut bahwa dengan bergabung dengan Gereja Katolik saya akan memasuki tempat dingin dan gelap dalam artian rohani. Saya sudah menemukan hal yang sebaliknya penuh cahaya dan kehangatan yang menyilaukan. Saya beruntung sudah mengenal beberapa bapa pengakuan yang baik, pembimbing rohani yang bijaksana,dan pembawa homily yang dinamis. Secara rutin saya menemukan Kitab Suci terbuka bagi saya dengan cara yang baru dan menarik. Saya sudah menjali persahabatan dengan banyak teman Katolik dan menemukan di Gereja Katolik tentang teladan iman, harapan, dan kasih yang memberikan inspirasi. Saya sudah bertumbuh dalam iman Katolik saya dan sudah menemukan semangat dan kelembutan devosi Katolik. Saya dipelihara dalam Sabda dan Sakramen. Allah sudah sangat baik terhadap saya. Hati saya penuh. Setelah lulus dari perguruan tinggi dengan gelar Bahasa Klasik, saya diterima di sekolah pascasarjana di Catholic University of America, tempat saya menerima gelar master dan doktorat dalam bahasa Yunani dan Latin. Selama saya di CUA, saya semakin dipupuk dalam iman Katolik saya melalui Misa harian dan sering mengaku dosa di Basilica of the National Shrine of the Immaculate Conception dan doa malam di Dominican House of Studies. Saya juga terlibat dalam schola paduan suara nyanyian Gregorian dan kelompok dewasa muda di paroki saya di Maryland. Saya tidak pernah menyesali keputusan saya atau meragukan keyakinan saya bahwa Gereja Katolik itu seperti yang dia nyatakan. Faktanya, setelah 14 tahun dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, dan beribadah dalam lebih dari Misa di tujuh negara berbeda, dalam tujuh bahasa yang berbeda, saya merasa lebih yakin sebelumnya bahwa saya sudah mengambil keputusan yang tepat, dan saya berada di tempat yang Allah kehendaki bagi saya. Saya berada di rumah. B. A. Lewis memasuki Gereja Katolik pada Malam Paskah 2006 dan melanjutkan studi untuk meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Klasik dari Asbury College dan gelar master dan doktor dalam bidang bahasa Yunani dan Latin dari Catholic University of America. Ia dan istrinya pernah tinggal selama tiga tahun di Athena, Yunani, dan sekarang tinggal bersama tiga anaknya di dekat Washington, DC, di mana Dr. Lewis bekerja sebagai Direktur Pelayanan Penerjemahan untuk International Commission on English in the Liturgy ICEL. Sumber “Why and How I Became Catholic”

kisah pengalaman iman katolik